1. Ibis Karau (Pseudibis davisoni)

Salah satu burung paling langka adalah Ibis Karau atau Pseudibis davisoni. Saking langkanya, populasi burung Ibis Karau hanya tersisa 670 ekor saja. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian burung dari famili Threskiornithidae ini dimasukkan sebagai spesies berstatus Critically Endangered (Kritis) oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature). Ciri khas burung ini adalah kepalanya yang botak dengan bagian tengkuk berwana putih atau terang layaknya mengenakan bando.

Ibis Karau adalah burung air di lahan basah. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan White-shouldered Ibis atau Black Ibis. Nama latin hewan ini adalah Pseudibis davisoni (Hume, 1875).

Burung Ibis Karau berukuran sedang dengan panjang sekitar 75-78 cm. Bulunya didominasi oleh warna hitam. Burung langka yang hidup di lahan basah ini memiliki ciri khas yang unik yaitu kepalanya yang botak dan bagian belakang kepala (tengkuk) hingga pangkal leher yang berwarna putih atau biru terang, layaknya mengenakan bando. Ciri khas lainnya adalah ukuran paruhnya yang panjang bengkok ke bawah. Terdapat tanda putih pada bagian pangkal sayap yang kemudian menjadikannya disebut sebagai “White-shouldered Ibis“.

Diskripsi lainnya adalah sayap dan ekornya yang memiliki bagian berwarna hitam mengkilat. Pada bagian bawah terdapat sedikit warna coklat berangan. Tungkai dan kaki merah, paruh hitam, dan iris mata berwarna gelap.

2. Cikalang Christmas (Fregata andrewsi) 

adalah spesies burung dari keluarga Fregatidae, dari genus Fregata. Burung ini merupakan jenis burung pemakan ikan dan bagian tubuh binatang lain, hidup atau mati yang memiliki habitat di laut, pantai. Burung ini hidup endemis di Pulau Natal, Samudra Hindia.

Ciri-ciri[sunting | sunting sumber]
Cikalang christmas memiliki tubuh berukuran besar (95 cm). Jantan: Hitam-hijau berkilap. Kantung paruh merah. Perut putih. Betina: Dada, perut putih, "taji" putih meluas sampai sayap bawah. Kerah putih. Lingkar mata merah jambu. Remaja: Lebih coklat. Kepala coklat karat pucat. Garis gelap lebar melintang dada. Iris coklat gelap, paruh hitam (jantan) atau merah jambu (betina), kaki abu-abu keunguan, telapak kaki kemerahjambuan. Hidup di laut, membumbung tinggi di atas permukaan mengikuti udara panas, mengikuti rombongan ikan. Menangkap mangsa di permukaan laut tanpa mendarat. Merampas makanan dari burung laut lain. Beristirahat dengan bertengger di pepohon di pulau-pulau kecil.

3. Elang Flores (Nisaetus) 

Merupakan salah satu jenis raptor (burung pemangsa) endemik yang dipunyai Indonesia. Sayangnya elang flores yang merupakan burung pemangsa endemik flores (Nusa Tenggara) ini kini menjadi raptor yang paling terancam punah lantaran populasinya diperkirakan tidak melebihi 250 ekor sehingga masuk dalam daftar merah (IUCN Redlist) sebagai Critically Endangered (Kritis). Status konservasi dan jumlah populasi ini jauh di bawah Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang status konservasinya Endangered (Terancam).

Elang flores (Spizaetus floris) semula dikelompokkan sebagai anak jenis (subspesies) dari elang brontok (Spizaetus cirrhatus) dengan nama ilmiah (Spizaetus cirrhatus floris). Tetapi mulai tahun 2005, elang flores ditetapkan sebagai spesies tersendiri. Dan saat itu pula, elang flores yang merupakan raptor endemik Nusa Tenggara dianugerahi status konservasi Critically Endangered. Daftar burung langka lainnya silahkan baca: Daftar Burung Langka dan Terancam Punah.

Elang flores dalam bahasa inggris dikenal sebagai Flores Hawk-eagle. Dalam bahasa ilmiah (latin) dikenal sebagai Spizaetus floris.

Ciri-ciri. Burung elang flores mempunyai ukuran tubuh yang sedang, dengan tubuh dewasa berukuran sekitar 55 cm. pada bagian kepala berbulu putih dan terkadang mempunyai garis-garis berwarna coklat pada bagian mahkota.

Tubuh elang flores berwarna coklat kehitam-hitaman. Sedangkan dada dan perut raptor endemik flores ini ditumbuhi bulu berwarna putih dengan corak tipis berwarna coklat kemerahan. Ekor elang flores berwarna coklat yang memiliki garis gelap sejumlah enam. Sedangkan kaki burung endemik ini berwarna putih.

Persebaran, Populasi, dan Konservasi. Elang flores merupakan raptor (burung pemangsa) endemik Nusa Tenggara yang hanya dapat ditemukan di pulau Flores, Sumbawa, Lombok, Satonda, Paloe, Komodo, dan Rinca.

Elang flores (spizaetus floris) tengah hinggap
Burung ini biasa mendiami hutan-hutan dataran rendah dan hutan submontana sampai ketinggian 1600 meter di atas permukaan laut (m. dpl).

Populasi raptor endemik flores ini di alam bebas diperkirakan tidak lebih dari 250 ekor individu dewasa (IUCN Redlist, 2005). Lantaran sedikitnya jumlah individu dan persebaran populasinya yang sempit maka elang flores (Spizaetus floris) langsung ditetapkan sebagai salah satu spesies burung dengan status konservasi “kritis” (Critically Endangered) sejak pertama kali raptor endemik ini berstatus sebagai spesies tersendiri yang terpisah dari elang brontok.

UPDATE : Nama resmi genus Elang Flores kini berubah dari Spizaetus menjadi Nisaetus. Sehingga nama latin hewan ini yang resmi kini adalah Nisaetus floris.

Klasifikasi Ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Aves; Ordo: Falconiformes; Famili: Accipitridae; Genus: Spizaetus; Species: Spizaetus floris

4. Trulek Jawa (Vanellus macropterus) 

adalah salah satu burung langka yang hanya terdapat (endemik) di Jawa. Burung dari suku Charadriidae ini pada tahun 1994 pernah dinyatakan punah (Extinct) oleh IUCN, namun sejak tahun 2000 statusnya direvisi menjadi Kritis. Meskipun begitu, hingga kini keberadaan jenis ini masih misterius karena tidak ada bukti fotografi atau spesimen baru yang diperoleh. Hingga saat ini yang dapat dijumpai secara resmi di Indonesia hanyalah spesimen awetannya di Museum Zoologi, Cibinong.

Burung ini terakhir tercatat keberadaannya pada tahun 1940 di delta Ci Tarum. Karena belum melakukan survei ulang semua habitatnya dan masih ada laporan-laporan keberadaan jenis ini dari penduduk setempat, IUCN tidak berani menyebutnya sebagai jenis yang punah.

Ukuran tubuh sedang, sekitar 28 cm. Bulunya berwarna coklat keabuan dengan kepala hitam. Punggung dan dada coklat keabuan, perut hitam, tungging putih. Bulu-bulu sayap terbang hitam, ekor putih dengan garis subterminal hitam lebar. Terdapat "taji" hitam pada bagian lengkung sayap. Iris coklat, paruh hitam, tungkai hijau kekuningan atau jingga. Satu hal yang khas dari burung ini adalah gelambir putih kekuningan di atas paruhnya.

Hidupnya berpasangan di padang rumput terbuka sepanjang pantai utara Jawa Barat dan pantai selatan Jawa Timur. Bburung endemik ini hidup dari memakan antara lain kumbang air, siput, larva serangga, dan biji-bijian tumbuhan air. Burung ini sering berada di sekitar daerah berair (tepi sungai, muara sungai, dan rawa) namun tidak menyukai air. Mereka sering terlihat justru sedang bertengger di tempat kering di sekitar lahan basah seperti ranting, bebatuan, dan rerumputan.

Beberapa daerah yang dilaporkan didiami antara lain

hutan Sawangan, Petungkriyono, Pekalongan (Jawa Tengah); terakhir terlihat tahun 2001 oleh Tim Community Forestry Pekalongan.
hutan Gunung Ungaran (Jawa Tengah).
Taman Nasional Meru Betiri, Jember (Jawa Timur).
Lumajang (Jawa Timur); di sini penduduk setempat menamainya "Plirik" dan menganggapnya sebagai burung keramat lantaran terdapat motif menyerupai keris pada sayapnya.
Pegunungan Halimun (Jawa Barat).

5. Dara Laut-Cina (Thalasseus bernsteini)

Banyak Dara-laut yang bertelur di daerah empat musim melakukan migrasi jarak jauh, dan Dara-laut Arktik mungkin melihat siang hari lebih banyak dari makhluk lain karena ia bermigrasi dari daerah bertelurnya di bagian utara hingga ke perairan Antartika.

Mereka biasanya berukuran sedang hingga besar, biasanya dengan warna abu-abu atau putih, seringkali dengan tanda hitam di bagian kepala. Paruh mereka berbentuk memanjang.

Burung ini biasanya hidup cukup lama, beberapa spesiesnya bisa hidup hingga 25-30 tahun.



6. Merpati-Hutan Perak (Columba argentina)

adalah burung yang termasuk dalam jenis burung-burung yang berstatus kritis (terancan punah/musnah) dalam IUCN, selain burung Anis-bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis),Sikatan aceh(Cyornis ruckii), dan Jalak bali (Leucopsar rothschildi)

Berukuran besar (40 cm), berwarna abu-abu pucat. Sayapnya berwarna hitam, ekor dan tubuh bagian bawah keabuan. Perbedaannya dengan Pergam laut: tubuh bagian atas abu-abu (bukan putih), warna hitam pada separuh ekor, dan lingkaran mata merah. Iris coklat, keliling mata yang gundul merah, paruh hijau-pucat dengan pangkal merah, kaki merah

Kep. Simeulue, Mentawai (P.Sipura, Pagai utara),Kep.Riau (Karimun Besar, Batam, Bintan dan Kepulauan Lingga/Saya), Kep. Anambas, Natuna utara dan Kep. Karimata di ujung barat Kalimantan. Juga pernah tercatat di P. Burong (Malaysia), akan tapi, sekarang di pulau itu sudah punah

Merpati-hutan perak mirip dengan Pergam laut, akan tetapi ada perbedaan antara merpati hutan perak dan pergam laut, yaitu pergam laut tidak mempunyai lingkaran merah pada mata, dan warna yang lebih putih

Mendiami pulau-pulau kecil, tetapi jarang ditemukan karena adanya penebangan hutan. Kadang-kadang berbaur dengan Pergam laut

7. Kakatua-kecil jambul-kuning (Cacatua sulphurea) 

adalah burung berukuran sedang, dengan panjang sekitar 35 cm, dari marga Cacatua. Burung ini hampir semua bulunya berwarna putih. Di kepalanya terdapat jambul berwarna kuning yang dapat ditegakkan. Kakatua-kecil jambul-kuning berparuh hitam, kulit di sekitar matanya berwarna kebiruan dan kakinya berwarna abu-abu. Bulu-bulu terbang dan ekornya juga berwarna kuning. Burung betina serupa dengan burung jantan.

Daerah sebaran kakatua-kecil jambul-kuning adalah Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Bali, dan Timor, di tempat yang masih terdapat hutan-hutan primer dan sekunder. Pakan unggas cerdas dan gemar berkawanan ini terdiri dari biji-bijian, kacang, dan aneka buah-buahan. Burung betina menetaskan antara dua sampai tiga telur dalam sarangnya di lubang pohon.

Berdasarkan dari hilangnya habitat hutan dan penangkapan liar yang terus berlanjut untuk perdagangan, serta daerah dan populasi di mana burung ini ditemukan sangat terbatas, kakatua-kecil jambul-kuning dievaluasikan sebagai kritis di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES Appendix I.

8. Perkici buru (Charmosyna toxopei) 

dikenal sebagai burung endemik Pulau Buru. Dikenal pula, bahwa burung yang berparuh bengkok itu langka. Dan hanya ada di Pulau Buru.

Burung perkici buru ditemukan pada tahun 1921 oleh seorang penjelajah berkebangsaan Belanda, yaitu Hendrik Cornelis Siebers. Dengan catatan, bahwa Hendrik Cornelis Siebers bukanlah seorang ahli burung, tetapi ahli serangga

Ukuran badan burung perkici buru adalah 16 cm. Burung ini berwarna hijau atau kuning.Mahkota depan berwana biru. Pada yang jenis betina,mahkotanya lebih jelas. Pangkal ekornya pada bagian bawah berwarna merah. Burung ini bersuara ti-ti-ti-ti-ti sangat melengking

Burung yang tidak umum, menghuni hutan primer, hutan sekunder dan perkebunan. Dapat dijumpai dari ketinggian 0-1000m. Diperkirakan sebagai burung yang nomaden, berpindah-pindah tempat sesuai ketersediaan pakan. Mungkin juga jenis burung yang sangat bergantung dengan tipe habitat tertentu

9. Tokhtor sumatera (Carpococcyx viridis) 

adalah burung endemik Sumatera termasuk dalam 18 burung paling langka di Indonesia. Burung Tokhtor sumatera didaftar sebagai satwa Kritis yakni status konservasi dengan keterancaman paling tinggi. Diduga populasinya tidak mencapai 300 ekor. Burung Tokhtor Sumatera pernah dianggap punah karena sejak terdiskripsikan pada 1916 tidak pernah dijumpai lagi, baru pada November 1997 seekor Tokhtor Sumatera berhasil difoto untuk pertama kalinya oleh Andjar Rafiastanto. Photo selanjutnya terjadi pada tahun 2006, perangkap kamera survei untuk harimau dekat dengan Taman Nasional Kerinci Seblat dapat mengambil gambar dari burung Tokhtor Sumatera,

Burung ini merupakan satu dari tiga spesies Tokhtor yang ada di dunia selain Tokhtor Kalimantan (Carpococcyx radiceus) yang endemik Kalimantan dan Coral-billed Ground-cuckoo (Carpococcyx renauldi) yang terdapat di Thailand dan Vietnam. Dulunya, Tokhtor Sumatera dan Tokhtor Kalimantan dianggap sebagai satu spesies yang sama yang dinamai Tokhtor Sunda.

Burung Tokhtor sumatera merupakan burung penghuni permukaan tanah dengan ukuran tubuh yang besar mencapai 60 cm. Kaki dan paruh berwarna hijau. Mahkota hitam, sedangkan mantel, bagian atas, leher samping, penutup sayap dan penutup sayap tengah berwarna hijau pudar. Bagian bawah tubuh berwarna coklat dengan palang coklat kehijauan luas. Sayap dan ekor hitam kehijauan mengilap. Tenggorokan bawah dan dada bawah hijau pudar, bagian bawah sisanya bungalan kayu manis, sisi tubuh kemerahan. Kulit sekitar mata berwarna hijau, lila dan biru.

Burung Tokhtor sumatera hidup di permukaan tanah dan memakan vertebrata kecil dan invertebrata besar. Burung endemik Sumatera yang sangat langka dan terancam punah ini termasuk binatang pemalu.

10. Celepuk siau (Otus siaoensis)

merupakan salah satu burung langka dan terancam punah di dunia. Burung celepuk siau adalah burung endemik yang hanya terdapat di sebuah pulau kecil bernama “Siau” di Kabupaten Sangihe, Propinsi Sulawesi Utara. Burung yang masuk dalam kategori keterancaman tertinggi, Kritis (Critically Endangered) ini tidak lagi pernah terlihat kembali sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1866.

Celepuk siau merupakan anggota burung hantu (ordo Strigiformes) yang dalam bahasa Inggris biasa disebut sebagai Siau Scops-owl. Sedangkan dalam nama ilmiah (latin) celepuk ini diberi nama Otus siaoensis.

Ciri, Habitat, dan Persebaran. Belum banyak data yang bisa menggambarkan ciri, habitat dan persebaran burung ini. Burung celepuk siau mempunyai ukuran tubuh yang relatif kecil, panjangnya sekitar 17 cm. Seperti burung hantu lainnya, terutama celepuk, burung endemik pulau Siau ini mempunyai ukuran kepala dan sayap yang relatif besar.

Burung langka ini termasuk binatang nokturnal yang lebih banyak aktif di malam hari terutama untuk berburu mangsa. Di siang hari, celepuk siau (Otus siaoensis) banyak menghabiskan waktunya untuk beristirahat.

Burung celepuk siau diyakini hanya terdapat di satu tempat yakni pulau Siau (Koordinat: 2°43’22″N   125°23’36″E) di Kabupaten Sangihe, Propinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Di duga binatang endemik ini mendiami daerah di sekitar Danau Kepetta yang terletak di bagian Selatan Pulau Siau. Selain itu juga di sekitar Gunung Tamata yang berada di bagian tengah Pulau Siau. Meskipun populasi di habitat tersebut hanya berdasarkan pengakuan masyarakat sekitar.

Populasi dan Konservasi. Populasi burung endemik ini tidak diketahui dengan pasti, namun berdasarkan persebarannya yang hanya terbatas di pulau dan penampakan langsung yang jarang sekali, celepuk siau dikategorikan oleh IUCN Redlist dalam status konservasi Kritis (Critically Endangered) sejak tahun 2000. CITES juga memasukkan celepuk ini dalam Apendix II sejak 1998.

Bahkan penampakan visual burung ini secara langsung tidak pernah terjadi lagi sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1866. Langkanya celepuk siau (Otus siaoensis) dimungkinkan karena berkurangnya habitat akibat deforestasi hutan untuk pemukiman maupun lahan pertanian.

Anehnya, meskipun telah terdaftar sebagai salah satu burung yang paling langka dan terancam kepunahan tapi ternyata burung ini tidak termasuk dalam salah satu satwa yang dilindungi di Indonesia. Entah karena kealpaan, sehingga burung ini lolos dari daftar satwa yang dilindungi Undang-undang Indonesia.

Incaran Penggemar Burung. Jumlah populasi, endemikitas, dan jarangnya penampakan membuat celepuk siau (Otus siaoensis) menjadi incaran para pengamat dan peneliti burung dari seluruh penjuru dunia. Namun hingga kini tidak satupun para peneliti tersebut yang dapat mengungkap keberadaan celepuk siau, apalagi bertemu langsung dengan spesies ini.

Organisasi sebesar UICN Redlist bekerja sama dengan Birdlife Internasional pernah mengadakan penelitian keberadaan burung celepuk siau ini pada 1998. Namun survey selama 32 hari itu tidak berhasil menemukan data keberadaan burung endemik langka ini, kecuali berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat.

Hingga saat ini beberapa LSM lingkungan hidup lokal masih terus memburu eksistensi dan mengumpulkan data tentang burung celepuk siau ini dengan sokongan dana dari Wildlife Conservation Society.

Mungkin diantara sobat pembaca Alamendah’s Blog ada yang tertarik untuk ikut serta melakukan riset keberadaan burung endemik pulau Siau, Sulawesi Utara ini?. Dengan menemukan atau memfoto salah satu spesies endemik ini bisa dipastikan sobat akan menjadi selebritis baru di dunia taksonomi dan konservasi burung.

Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Aves; Ordo: Strigiformes; Famili: Strigidae; Genus: Otus; Spesies: O. siaoensis

11. Udang-Mmerah Sangihe (Ceyx Sangirensis)

Burung Udang-merah Sangihe, menjadi salah satu burung paling langka di Indonesia. Burung Udang-merah Sangihe (Ceyx sangirensis) pada tahun 2014 ini dimasukkan sebagai spesies Critically Endangered (Kritis), status keterancaman tertinggi dalam Daftar Merah IUCN. Burung Udang-merah Sangihe atau Sangihe Dwarf-kingfisher, selain langka, juga burung endemik yang hanya hidup di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.

Wajar jika burung berukuran kecil mungil ini dianggap sangat langka sehingga didaftar sebagai spesies Critically Endangered. Dari beberapa survey yang dilakukan semenjak tahun 1997, tidak sekalipun burung Udang-merah Sangihe (Ceyx sangirensis) berhasil dilihat.

Nama latin burung ini adalah Ceyx sangirensis (Meyer & Wiglesworth, 1898). Sebelumnya Burung Udang-merah Sangihe dianggap sebagai anakjenis dari Ceyx fallax (Burung Udang-merah Sulawesi). Namun sejak 2014 ini, IUCN memisahkannya sebagai spesies tersendiri sekaligus langsung menempatkannya sebagai spesies Critically Endangered (Kritis). Dalam bahasa Inggris nama burung ini dikenal sebagai Sangihe Dwarf-kingfisher atau Sangihe kingfisher, merujuk pada pulau Sangihe yang dihuni burung ini.

Deskripsi Burung Udang-merah Sangihe

Ukuran tubuh burung Udang-merah Sangihe cukup kecil, sekitar 13 cm. Bulu bagian atas didominasi warna coklat kemerahan, memiliki tagihan berwarna merah terang dengan makota berwarna selang seling hitam biru. Bulu pada sekitar telinga berwarna ungu, serta bulu berwarna putih di belakang telinga dan leher. Punggung bagian bawah dan ekor berwarna biru. Sedangkan bulu bagian perut berwarna jingga. Sekilas burung endemik Pulau Sangihe ini memang mirip dengan saudara dekatnya, Burung Udang-merah Sulawesi (Ceyx fallax), meskipun berukuran sedikit lebih besar.

Burung Udang-merah Sangihe merupakan hewan endemik yang daerah sebarannya terbatas di Pulau Sangihe dan dimungkinkan hidup pula di Pulau Talaud, Sulawesi Utara. Daerah distribusinya kurang dari 560 km2.

Populasi burung endemik ini diyakini sangat langka. BirdLife memperkirakan populasinya tidak mencapai 250 ekor. Saking langkanya, terakhir kali burung ini berhasil diamati adalah pada tahun 1997. Setelahnya, tidak sekalipun terlihat meskipun telah dilakukan beberapa kali survey dan pengamatan (1998-1999, 2003, 2004-2006, 2009, dan 2014) oleh berbagai pihak.

Mengingat populasi dan daerah sebarannya yang sangat terbatas, ditambah dengan ancaman rusaknya habitat di Pulau Sangihe yang terus terjadi, IUCN Redlist memasukkan spesies ini dalam status konservasi Critically Endangered (Kritis).

Di Indonesia, sebenarnya spesies burung ini tidak tertulis dalam daftar burung yang dilindungi berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1999. Namun dalam Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan bahwa semua jenis burung dari famili Alcedinidae (Burung udang dan Raja udang) dilindungi maka burung Udang-merah Sangihe pun termasuk salah satu burung yang dilindungi di Indonesia.

Kalsifikasi Ilmiah Burung Udang-merah Sangihe : Kerajaan: Animalia. Filum: Chordata. Kelas: Aves. Ordo: Coraciiformes. Famili: Alcedinidae. Genus: Ceyx. Spesies: Ceyx sangirensis (Meyer & Wiglesworth, 1898).


12. Burung Raja-udang kalung-biru (Alcedo euryzona) 

menjadi salah satu burung langka sekaligus burung dilindungi di Indonesia. Burung yang juga dinamai sebagai Blue-banded Kingfisher ini merupakan burung pemakan ikan dari famili Alcedinidae.

Raja-udang kalung biru, biasa ditulis dengan Rajaudang kalung-biru, dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Blue-banded Kingfisher atau Javan Blue-banded Kingfisher. Nama latin hewan ini adalah Alcedo euryzona Temminck yang mempunyai dua subspesies yaitu Alcedo euryzona euryzona dan Alcedo euryzona peninsulae. Namun oleh Sibley and Monroe (1990, 1993) sebagaimana telah dianut IUCN keduanya dipisah menjadi dua spesies tersediri yaitu Alcedo euryzona (Javan Blue-banded Kingfisher) dan Alcedo peninsulae (Malay Blue-banded Kingfisher).


Diskripsi Fisik dan Perilaku Raja-udang Kalung biru

Burung langka ini berukuran sedang dengan panjang tubuh sekitar 18 cm. Bulunya berwarna biru tua dan putih. Bulu pada mahkota, sisi kepala, dan sayap berwarna hitam kebiruan gelap. Memiliki garis dada, bulu punggung dan ekor berwarna biru muda. Tutup telinga, tenggorokan dan perut mempunyai warna keputih-putihan, tersapu merah karat. Pada burung Raja-udang kalung biru betina mempunyai perut berbulu jingga-merah karat dan tenggorokan krem. Iris berwarna coklat, kedua paruh burung jantan berwarna hitam, sedang paruh betina bagian atas hitam dan paruh bawah berwarna kemerahan. Kaki merah terang. Burung betina pada ras Kalimantan dan Sumatera (Alcedo euryzona peninsulae) memiliki garis dada, sedangkan ras Jawa (Alcedo euryzona euryzona) tidak mempunyai.

Burung Raja-udang kalung-biru merupakan pemalu yang mendiami daerah di sekitar sungai berbatu pada hutan hujan tropis hingga hutan mangrove pada ketinggian hingga 1250 meter dpl. Burung pemakan ikan, namun juga mengkonsumsi aneka serangga, reptil kecil dan udang-udangan di sekitar sungai. Sedangkan suara burung ini hampir mirip saudara dekatnya, Raja-udang Erasia.

Daerah sebaran burung ini terbatas di pulau Jawa untuk subspesies Alcedo euryzona euryzona. Sedangkan untuk subspesies Alcedo euryzona peninsulae bisa dijumpai di Sumatera dan Kalimantan (Indonesia) serta di Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Myanmar.

Populasi ras Jawa diperkirakan sangat sedikit pada kisaran antara 50-249 ekor burung dewasa. Bahkan menurut catatan birdlife.org, semenjak burung ini ditemukan pertama kali pada 1930, baru sekali dijumpai lagi. Perjumpaan itu terjadi pada tahun 2009 silam di Taman Nasional Gunung Halimun. Karena itu, IUCN Redlist yang sejak 2014  mengklasifikasikannya sebagai spesies tersendiri (Alcedo euryzona), memberikan status Critically Endangered (Kritis).

Sedangkan untuk subspesies Alcedo euryzona peninsulae, (IUCN Redlist mengklasifikannya sebagai spesies tersendiri, Alcedo peninsulae) diperkirakan mempunyai populasi antara 10.000 hingga 20.000 ekor burung dewasa. Dan IUCN Redlist, sejak 2014 memasukkannya sebagai spesies Near Threatened.

Di Indonesia burung Raja-udang kalung-biru termasuk salah satu burung yang dilindungi berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dan PP No. 7 Tahun 1999.

Klasifikasi Ilmiah: Kerajaan: Animalia. Filum: Chordata. Kelas: Aves. Ordo: Coraciiformes. Famili: Alcedinidae. Genus: Alcedo. Spesies: Alcedo euryzona.


13. Burung Rangkong (Enggang) 

adalah burung yang terdiri dari 57 spesies yang tersebar di Asia dan Afrika. 14 diantaranya terdapat di Indonesia. Di antara enggang, jenis enggang gading adalah yang terbesar ukurannya, baik kepala, paruh dan tanduknya yang menutupi bagian dahinya. Enggang gading adalah salah satu dari 14 jenis burung rangkong yang ada di Indonesia dan menjadi maskot provinsi Kalimantan Barat. Karena jumlahnya yang semakin sedikit burung ini termasuk dalam jenis fauna yang dilindungi undang-undang.

Binatang yang dilindungi ini pada usia mudanya mempunyai paruh dan mahkota berwarna putih. Seiring usianya, paruh dan mahkotanya akan berubah warna menjadi oranye dan merah, ini akibat dari seringnya enggang menggesekkan paruh ke kelenjar penghasil warna oranye merah yang terletak di bawah ekornya. Burung ini menyukai daun Ara sebagai makanan favoritnya, tapi tidak jarang juga makan serangga, tikus, kadal bahkan burung kecil.

urung Enggang mempunyai kebiasaan hidup berpasang-pasangan dan cara bertelurnya merupakan suatu daya tarik tersendiri. Pada awal masa bertelur burung jantan membuat lubang yang terletak tinggi pada batang pohon untuk tempat bersarang dan bertelurnya burung betina. Selama mengerami telurnya, sang betina bersembunyi menutup lubang dengan dedaunan dan lumpur dengan lubang sebagai jendelanya. Kemudian burung jantan memberi makan burung betinanya melalui sebuah lubang kecil selama masa inkubasi, dan berlanjut sampai anak mereka tumbuh menjadi burung muda. Karena itulah burung enggang ini dijadikan sebagai contoh kehidupan bagi orang dayak untuk bermasyarakat agar selalu mencintai dan mengasihi pasangan hidupnya dan mengasuh anak mereka hingga menjadi seorang dayak yang mandiri dan dewasa.

Burung enggang biasa bertengger di pohon yang tinggi, sebelum terbang Enggang memberikan tanda dengan mengeluarkan suara gak yang keras. Ketika sudah mengudara kepakan sayap enggang mengeluarkan suara yang dramatik. Burung ini hidup berkelompok sekitar 2 sampai 10 ekor tiap pohon. Terkadang burung terbang bersama dalam jumlah antara 20-30 ekor. Suara enggang ini sangat khas dan nyaring sekali seakan-akan memanggil sekawannya di balik pohon yang rindang. Musim telurnya dari bulan April sampai Juli dan anak-anak burung yang lebih besar membantu burung jantan dewasa menyediakan makan bagi burung betina dan anak-anaknya yang baru menetas.

Dalam budaya Suku Dayak Kalimantan, burung enggang selalu menjadi bagiannya. Mitos dan cerita di balik burung enggang berbeda-beda di setiap daerah salah satu mitos tersebut mengatakan burung enggang adalah penjelmaan dari Panglima Burung. Panglima Burung adalah sosok yang tinggal di gunung pedalaman kalimantan dan berwujud gaib dan hanya akan hadir saat perang. Umumnya burung ini dianggap sakral dan tidak diperbolehkan untuk diburu apalagi dimakan. Bila ada burung enggang yang ditemukan mati, jasadnya tidak dibuang. Bagian kepalanya digunakan untuk hiasan kepala. Rangka kepala burung enggang yang keras bertulang akan tetap awet bentuknya. Hiasan kepala inipun hanya boleh digunakan oleh orang-orang terhormat.

Hiasan kepala dari burung enggang hanya boleh digunakan oleh orang-orang terhormat Namun sekarang ini burung enggang merupakan burung langka yang sudah sangat sulit di temui di hutan Kalimantan, ini dikarenakan pengerusakan hutan borneo yang terus-menerus terjadi, seperti penebangan hutan baik illegal logging maupun untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit. Nasib burung enggang ini sekarang sama seperti nasib suku Dayak di borneo yang semakin terpinggirkan di tanahnya sendiri. Hal ini juga diperparah dengan maraknya perburuan yang dilakukan masyarakat sekitar. Harga persatu kepala burung Enggang dihargai Rp. 2,5 juta. Karena harganya yang mahal banyak warga pedalaman berlomba berburu burung tersebut dihutan.